Referendum sebagai Solusi Masalah bagi Papua
Seiring
dengan kerusuhan di Manokwari Papua Barat, tuntutan referendum Papua juga
menguat. Pendukung agenda Papua Merdeka memanfatkan momentum ini untuk
menggalang dukungan.
Kelompok
separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengklaim telah
menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut
referendum kemerdekaan Papua Barat.
Melihat
itu, kita tentu saja tidak setuju. Referendum Papua bukan jalan atau cara yang
benar dalam menyelesaikan persoalan.
Persoalan
di Jawa Timur hingga merembet ke Papua dan Papua Barat adalah dampak dari
masyarakat yang mudah tersulut provokasi dan hoaks.
Padahal
masalah tersebut sangat bisa diselesaikan secara kekeluargaan, terlebih Gubernur
Jatim, Walikota Surabaya dan Bupati Malang telah meminta maaf atas ucapan serta
perilaku sekelompok masyarakat Jatim yang menyakiti hati masyarakat Papua.
Perlu
diketahui, referendum Papua bukan solusi tepat dan referendum adalah kesalahan
besar. Bukan karena Presiden Jokowi lemah dan takut terhadap referendum, namun
konsep NKRI dan Persatuan Indonesia akan luntur ketika referendum terjadi.
Solusi
paling tepat menyelesaikan masalah Papua adalah bagaimana Pemerintah RI dan
rakyat Papua sama-sama menentukan masa depan Papua dalam bingkai NKRI dan
menumbuhkan rasa memiliki NKRI oleh rakyat Papua.
Konflik
di Manokwari dan Sorong serta di Jawa Timur telah membuat kelompok separatis
berbangga hati. Hal tersebut haruslah dihindari karena mereka akan memanfaatkan
setiap konflik di Papua sebagai ajang mencari dukungan untuk memisahkan diri.
Rakyat
Papua harus percaya bahwa di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, Papua akan
lebih baik lagi. Kita pun menyaksikan sendiri berbagai kemajuan yang ada di
Papua.
Namun,
hal itu terwujud jika Pemda dan masyarakat Papua bersama dengan pemerintah
pusat bahu-membahu membangun Papua dan NKRI. Kita yakin bisa.
Jakarta,
CNN Indonesia -- Wacana terkait referendum untuk masyarakat Papua menuai banyak
pro kontra. Mantan jurnalis sekaligus pendiri Watchdoc Documentary Maker,
Dandhy Dwi Laksono adalah satu orang yang mendukung referendum di tengah
gejolak yang semakin memanas di Papua dalam beberapa minggu belakangan.
Dandhy
mengatakan referendum adalah opsi yang tidak bisa ditinggalkan untuk masyarakat
Papua. Menurutnya hal ini merupakan upaya pemberian hak menentukan nasib
sendiri bagi rakyat bumi cenderawasih tersebut.
"Referendum
itu salah satu opsi yang tak boleh ditiadakan. Jadi belum tentu referendum.
Referendum pun belum tentu hasilnya merdeka" kata Dhandy di kawasan
Jakarta Selatan, Sabtu (21/9).
Selain
itu, dia juga menegaskan pemberian opsi referendum merupakan itikad baik yang
ditunjukkan pemerintah Indonesia meski tidak semua negara yang melakukan
referendum bisa merdeka.
Menurutnya,
Indonesia tidak bisa hanya mengunci pilihan untuk menggerakkan kekuatan militer
di Papua saat masyarakatnya sudah bersikap keras.
"Tapi
kita tak boleh berhenti bicara, kalau mau bicara itikad baik bagi Papua,
berhenti mengunci pilihan-pilihan itu, karena kalau kita kunci pilihan itu,
maka pilihannya hanya menggunakan tentara kemudian. Ketika Papua sikapnya juga
mengeras, dan itu sudah terjadi selama 57 tahun sejak New York
agreements," ucap dia.
New
York Agreement sendiri adalah sebuah perjanjian yang diprakarsai oleh Amerika
Serikat pada 1962 untuk terjadinya pemindahan kekuasaan atas Papua barat dari
Belanda ke Indonesia.
Selain
itu, opsi referendum menurutnya adalah solusi yang bebas dari kekerasan.
Menurutnya pemerintah semestinya tidak menutup jalan damai untuk mengakhiri
konflik di Papua.
"Presiden
siapapun mengalami masalah yang sama. Yang punya modal kultural besar seperti
Gus Dur pun menghadapi tembok yang besar. Apalagi pak Jokowi. Jadi bagi saya,
kalau Indonesia punya itikad baik, semua opsi yang non violence, harus
dibuka," ujarnya.
Usul
Militer Ditarik Dari Papua
Di
tempat yang sama, anggota DPR RI Fraksi PDIP, Budiman Sudjatmiko mengatakan
dirinya setuju dengan penarikan kekuatan militer dari Papua. Ia berpendapat
penarikan kekuatan militer itu dapat menjadi upaya menghindari terciptanya
konflik di Papua.
Budiman
mengatakan penarikan tersebut dapat dilakukan secara bertahap.
"Tentu
itu harus dilakukan, pertama itu ditarik kekerasannya, militerismenya ditarik.
Bertahap tentu saja," kata Budiman.
Selain
itu, Budiman juga mengusulkan adanya penguatan di pihak aparat kepolisian dan
keamanan teritorial. Dengan hal tersebut, menurutnya organisasi separatis dan
bersenjata lainnya tidak akan meremehkan aparat keamanan yang ada di tanah
Papua meski kekuatan militer ditarik.
"Kepolisian
harus dilengkapi agar dia juga tidak jadi bulan-bulanan tokoh kriminal
bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM)," kata dia.
Budiman
lebih lanjut mengusulkan agar penyelesaian persoalan pelanggaran HAM bisa
segera diselesaikan. Menurutnya hal itu akan mendorong penyelesaian konflik di
Papua.
"Beberapa
persoalan pelanggaran HAM harus diselesaikan. Mau pendekatan hukum atau
pendekatan rekonsiliasi politik harus dimungkinkan ke arah sana. Karena itu
juga satu problem yang memang jadi persoalan di Timor Leste," ujar dia.
Sebelumnya,
Budiman juga mengatakan ia menolak konsep NKRI harga mati karena menurutnya hal
itu tidak tepat untuk dijadikan dasar mempertahankan Papua menjadi bagian dari
Indonesia.
Ia
mengatakan tidak bisa membayangkan jika Papua harus berpisah dengan Indonesia.
Oleh karena itu menurutnya Indonesia harus menemukan akar permasalahan yang
menyebabkan ketegangan dengan Papua. Menurut Budiman, NKRI semestinya dijadikan
modal awal yang mutlak dalam membentuk bangsa Indonesia bukannya menjadi
tujuan.















