Senin, 14 Oktober 2019

Akankah Papua Berpisah?



Referendum sebagai Solusi Masalah bagi Papua
Seiring dengan kerusuhan di Manokwari Papua Barat, tuntutan referendum Papua juga menguat. Pendukung agenda Papua Merdeka memanfatkan momentum ini untuk menggalang dukungan.
Kelompok separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengklaim telah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat.
Melihat itu, kita tentu saja tidak setuju. Referendum Papua bukan jalan atau cara yang benar dalam menyelesaikan persoalan.
Persoalan di Jawa Timur hingga merembet ke Papua dan Papua Barat adalah dampak dari masyarakat yang mudah tersulut provokasi dan hoaks.
Padahal masalah tersebut sangat bisa diselesaikan secara kekeluargaan, terlebih Gubernur Jatim, Walikota Surabaya dan Bupati Malang telah meminta maaf atas ucapan serta perilaku sekelompok masyarakat Jatim yang menyakiti hati masyarakat Papua.
Perlu diketahui, referendum Papua bukan solusi tepat dan referendum adalah kesalahan besar. Bukan karena Presiden Jokowi lemah dan takut terhadap referendum, namun konsep NKRI dan Persatuan Indonesia akan luntur ketika referendum terjadi.
Solusi paling tepat menyelesaikan masalah Papua adalah bagaimana Pemerintah RI dan rakyat Papua sama-sama menentukan masa depan Papua dalam bingkai NKRI dan menumbuhkan rasa memiliki NKRI oleh rakyat Papua.
Konflik di Manokwari dan Sorong serta di Jawa Timur telah membuat kelompok separatis berbangga hati. Hal tersebut haruslah dihindari karena mereka akan memanfaatkan setiap konflik di Papua sebagai ajang mencari dukungan untuk memisahkan diri.
Rakyat Papua harus percaya bahwa di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, Papua akan lebih baik lagi. Kita pun menyaksikan sendiri berbagai kemajuan yang ada di Papua.
Namun, hal itu terwujud jika Pemda dan masyarakat Papua bersama dengan pemerintah pusat bahu-membahu membangun Papua dan NKRI. Kita yakin bisa.
Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana terkait referendum untuk masyarakat Papua menuai banyak pro kontra. Mantan jurnalis sekaligus pendiri Watchdoc Documentary Maker, Dandhy Dwi Laksono adalah satu orang yang mendukung referendum di tengah gejolak yang semakin memanas di Papua dalam beberapa minggu belakangan.
Dandhy mengatakan referendum adalah opsi yang tidak bisa ditinggalkan untuk masyarakat Papua. Menurutnya hal ini merupakan upaya pemberian hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat bumi cenderawasih tersebut.
"Referendum itu salah satu opsi yang tak boleh ditiadakan. Jadi belum tentu referendum. Referendum pun belum tentu hasilnya merdeka" kata Dhandy di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (21/9).
Selain itu, dia juga menegaskan pemberian opsi referendum merupakan itikad baik yang ditunjukkan pemerintah Indonesia meski tidak semua negara yang melakukan referendum bisa merdeka.
Menurutnya, Indonesia tidak bisa hanya mengunci pilihan untuk menggerakkan kekuatan militer di Papua saat masyarakatnya sudah bersikap keras.
"Tapi kita tak boleh berhenti bicara, kalau mau bicara itikad baik bagi Papua, berhenti mengunci pilihan-pilihan itu, karena kalau kita kunci pilihan itu, maka pilihannya hanya menggunakan tentara kemudian. Ketika Papua sikapnya juga mengeras, dan itu sudah terjadi selama 57 tahun sejak New York agreements," ucap dia.
New York Agreement sendiri adalah sebuah perjanjian yang diprakarsai oleh Amerika Serikat pada 1962 untuk terjadinya pemindahan kekuasaan atas Papua barat dari Belanda ke Indonesia.
Selain itu, opsi referendum menurutnya adalah solusi yang bebas dari kekerasan. Menurutnya pemerintah semestinya tidak menutup jalan damai untuk mengakhiri konflik di Papua.
"Presiden siapapun mengalami masalah yang sama. Yang punya modal kultural besar seperti Gus Dur pun menghadapi tembok yang besar. Apalagi pak Jokowi. Jadi bagi saya, kalau Indonesia punya itikad baik, semua opsi yang non violence, harus dibuka," ujarnya.
Usul Militer Ditarik Dari Papua
Di tempat yang sama, anggota DPR RI Fraksi PDIP, Budiman Sudjatmiko mengatakan dirinya setuju dengan penarikan kekuatan militer dari Papua. Ia berpendapat penarikan kekuatan militer itu dapat menjadi upaya menghindari terciptanya konflik di Papua.
Budiman mengatakan penarikan tersebut dapat dilakukan secara bertahap.
"Tentu itu harus dilakukan, pertama itu ditarik kekerasannya, militerismenya ditarik. Bertahap tentu saja," kata Budiman.
Selain itu, Budiman juga mengusulkan adanya penguatan di pihak aparat kepolisian dan keamanan teritorial. Dengan hal tersebut, menurutnya organisasi separatis dan bersenjata lainnya tidak akan meremehkan aparat keamanan yang ada di tanah Papua meski kekuatan militer ditarik.
"Kepolisian harus dilengkapi agar dia juga tidak jadi bulan-bulanan tokoh kriminal bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM)," kata dia.
Budiman lebih lanjut mengusulkan agar penyelesaian persoalan pelanggaran HAM bisa segera diselesaikan. Menurutnya hal itu akan mendorong penyelesaian konflik di Papua.
"Beberapa persoalan pelanggaran HAM harus diselesaikan. Mau pendekatan hukum atau pendekatan rekonsiliasi politik harus dimungkinkan ke arah sana. Karena itu juga satu problem yang memang jadi persoalan di Timor Leste," ujar dia.
Sebelumnya, Budiman juga mengatakan ia menolak konsep NKRI harga mati karena menurutnya hal itu tidak tepat untuk dijadikan dasar mempertahankan Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Ia mengatakan tidak bisa membayangkan jika Papua harus berpisah dengan Indonesia. Oleh karena itu menurutnya Indonesia harus menemukan akar permasalahan yang menyebabkan ketegangan dengan Papua. Menurut Budiman, NKRI semestinya dijadikan modal awal yang mutlak dalam membentuk bangsa Indonesia bukannya menjadi tujuan.